Rabu, 04 Juli 2012

Hukum Membaca Istiadzah


HUKUM MEMBACA ISTIADZAH ( TA’AWUDZ)

Membaca istiadzah sebelum membaca Al-Qur’an ini merupakan hal yang biasa kita lihat ketika seseorang akan membaca Al-Qur’an, meski memang ada juga yang tidak membacanya. Kemudian sebenarnya apakah makna dari istiadzah tersebut, lalu bagaimana hukumnya? Dibawah ini saya akan mencoba membahas permasalahan ini dengan menukil ayat dari Al-Qur’anul karim dan pendapat ulama Abdul Aziz Abdul Ra’uf Al Hafidz, LC dalam bukunya Pedoman Dauroh Al-Qur’an.
 Baiklah pembahasan ini kita mulai dari makna lafadz istiadzah, lafadz istiadzah :

اعٍوذ ب الله من ا لشيطا ن الرجيم
Artinya : “ Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”.
Lafadz istiadzah dapat berbunyi seperti yang diatas atau dengan menambahkan السميع العليم jadi

اعوذ ب الله السميع العليم من ا لشيطا ن الرجيم
Artinya : “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha mengetahui dari godaan setan yang terkutuk”.
Adapun hukum membaca istiadzah sebelum memulai tilawah adalah Sunah, sebagaimana firman Allah SWT :
فإذا قراءت القران فا ستذ با الله من الشيطان الرجيم
Artinya :” Apabila kamu hendak membaca Al-Qur’an maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk. (QS. An-nahl : 95)

Berdasarkan ayat 95 dari Surat An-nahl tersebut hukum membaca istiadzah adalah Sunah, karena Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memohon perlindungan dari Allah SWT sebagai Pelindung kita dari godaan setan yang terkutuk. Tentu dengan membaca lafadz ini sebelum memulai tilawah akan memberikan dampak positif untuk diri kita sendiri, yaitu agar terlindungi dari segala bujuk rayu setan yang akan membawa kita pada jalannya yaitu jalan kesesatan dan pada hakikatnya setan adalah musuh nyata manusia, sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Baqarah :  168

يايها الناس كلوا مما في الارض حللا طيبا ولا تتبعوا خطوٰت الشيطان انه لكم عدو مبين

Artinya :”Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.

         Ayat diatas menjelaskan bahwa kita harus memakan makanan yang halal juga baik yang ada di bumi serta memerintahkan kita untuk tidak mengikuti langkah setan karena setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan tentang hal ini, Sehingga kita hendaknya setiap waktu mengingat Allah didalam hati kita dan melahirkan perilaku yang sesuai dengan tuntunan Allah, dan salah satu cara kita untuk kita meminta perlindungan Allah yaitu dengan membaca istiadzah ketika akan memuali tilawah karena setan akan menggoda manusia kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun.
      Semoga tulisan ini bermanfaat, semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah serta dilindungi oleh Allah dari godaan setan yang terkutuk, amin. Wa Allahu ‘alam.

Studi Kritis Ilmu Kalam



PEMBAHASAN

  1. ASPEK EPISTIMOLOGI ILMU KALAM
Yang di maksud Epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang di gunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya di kemukakan oleh Taufiq Adnan Amaldan Syamsu Rizal Panggabean. Mereka menyangkut sisi kelemahan aliran kalam dalam aspek metodologi.
Demi membela sudut pandang tertentu, penfsiran-penafsiran teologis tentunya telah mendekati Al-Qur’an secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesustraannya. Pemaksaan gagasan asing kedalam Al-Qur’an juga merupakan gejala yang mewabah.
Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai kehabsahan Al-Qur’an. Sebagaimana telah di ketahui pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas pandangan golongan Muktazilah. Penekanan Muktazilah pada ke-Esaan Tuhan  yang membuat mereka di gelari Ahl al- Adl al Tauhid telah menyebabkan mereka menolak doktrin keabadian Al-Qur’an sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlu Sunnah. Menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah mahluk (ciptaan). Jika tidak demikian tentulah ada yang abadi selain Allah, dan ini bertentangan dengan keesaan Allah.
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abadi (qadim), Al-Qur’an merupakan perintah Tuhan. Kata kreatif  kun (ada), merupakan seluruh bentuk sifatkata yang abadi, untuk menjelesakan hal ini , mereka rujuk Firman Allah berikut.

ﺇﻧﻤﺎﺃﻤﺭﻩﺇﺬﺁﺃﺮﺪﺷﻳﺄﺃﻦﻳﻗﻮﻞﻟﻪﻜﻦﻓﻳﻜﻮﻥ
Artinya: “ Sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : “Jadila!”maka terjadilah ia.

Menurut golongan asy’ariyah, ayat di atas menunjukan bahwa adanya perintah kreatif dan perkataan kreatif (kun), di alam. Disamping itu dengan berpijak pada ayat beikut ini :

ﻭﻣﻦﺍﻳﺎﺘﻪﺃﻧﺘﻘﻮﻡﺍﻠﺳﻤﺎﺀﻭﺍﻷﺮﺽﺒﺄﻣﺮﻩﺛﻡﺍﺫﺍﺪﻋﺎﻛﻢﻋﻮﺓﻤﻦﺍﻷﺮﺽﺇﺬﺍﺃﻨﺘﻢﺘﺧﺭﺠﻭﻥ

Artinya :” Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya, Kemudian apabila Ia memanggil kamu semua sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
(Qs. Ar-Rum:25).
Dengan ayat ini, mereka berdalih bahwa perintah Tuhan bukan hanya merupakan alat pencipta, tetapi tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya.
Ayat-ayat yang dirujuk tersebut, menurut adnan dan Rizal, sebenarnya di tegaskan untuk di maksudkan kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Namun, ayat-ayat ini telah di belokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk mendukung keabadian Al-Qur’an, sebagai tanggapan terhadap kalangan muktazilah. Teori golongan asy’ariyah tentang keabadian Al-Qur’an, senada dan berada di bawah pengaruh teori –teori teolog Kristen dan pengikut aliran setoa tentang logos.
Adnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk mebela sudut pandang untuk golongan Ahlus sunah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Qur’an tetapi lebih merupakan pemaksaan gagasan-gagasan asing kedalamnya.
Contoh mengenai gagasan asing yang telah dipaksakan kedalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam paparan mngenai kebangkitan manusia di ahirat. Dikalangan Ahlussunah, terdapat keyakinan yang kuat mngenai kebangkitan fisik di ahirat.
Pemahaman semacam ini yang di peroleh lewat pemahaman harfis lewat ayat-ayat Ukhrawi Al-Qur’an tentu saja sulit di terima oleh kaum filosof. Oleh karena itu, mereka menafsirkan secara elegoris pernyataan-pernyataan Al-Qu’an tentangnya sebagai kebangkitan spiritual, yitu hany roh manusia saja, yang akan di bangkitkan oleh Tuhan di hari kemudian.
Kritikan senada di kemukakan oleh Muhamad Husein Azd-Dzahabi aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah khawarij, muktazilah, dan syia’ah. Yang di pandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tidak propesional dan menyimpangkan makna teks-teks Al-Qur’an dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang di yakininya. Contohnya adalah penafsiran tokoh-tokoh khawarij terhadap firman Allah :

ﻮﻤﻥﻠﻢﻴﺤﻛﻡﺒﻣﺎﺃﻨﺰﻞﷲﻓﺄﻭﻠﺌﻚﻫﻢﺍﻠﻜﺎﻔﺭﻮﻥ
Artinya : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah:44).

Tanpa mnyebutkan alasannya Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa para pemuka khawarij berusaha menafsirkan ayat di atas sesuai denga pendapat madzhabnya, yakni bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukuman selain yang di turunkan Allah.
Adz-Dzahabi mengatakan demikian:
Pertanyaannya apakah pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat mereka mengenai ayat di atas dapat di terima ? kami katakan tidak.... Kelompok khawarij itu bersifat fanatik dan sangat terikat dengan keyakinan madzhabnya.
Contoh lainnya adalah penafsiran tokoh-tokoh muktazilah terhadap firman Allah berikut ini :
ﻭﺠﻮﻩﻴﻭﻤﺋﺬﻧﺎﻀﺭﺓﺍﻠﻰﺭﺒﻬﺎﻧﺎﻀﺭﺓ
Artinya :” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannya mereka melihat.” (Qs. Al-Qiyamah:22-23).
Mereka mena’wilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya yakni ketidak mungkinan Allah dapat dilihat di akhirat kelak. Dengan penakwilan itu Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata Nadhiro dari arti yang sebenarnya yakni melihat dengan kepala sendiri.
Adapun contoh penyimpangan yang di lakukan syiah, dan di pandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah apa yang di lakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah SWT.
ﻭﺍﻟﻬﻛﻢﺍﻠﻪﻮﺍﺤﺪﻻﺍﻠﻪﺍﻻﻫﻭﺍﻠﺮﺤﻤﻥﺍﻟﺭﺤﻴﻢ

Artinya : “ Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan lagi Maha Penyayang.
Al-askari mengatakan bahwa kata Ar-rahman berarti Maha pemurah kepada hamba-hambaNya, yang beriman dari kalangan (Syi’ah) keluarga Muhammad SAW. Allah memperkenankan mereka untuk melaukukan Taqiyah.
Menanggapi penafsiran di atas  Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa penyimpangan yang di lakukan Al-Asykari di atas didorong oleh prinsip (ajaran) taqiyah yang dianut oleh kelompok Syiah imamiyah. Adz-Dzahabi melihat bahwa penafsiran di atas lebih bernuansa politik.
Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Misalnya dengan faham menafikan sifat-sifat Allah, aliran Muktazilah “bertujuan” menyucikan (tanzih) Allah dengan keserupaan dengan mahlukNya dan dalam rangka mempertahankan prinsip Tauhid sebagaimana yang mereka anut. Namun, misi ini tidak berjalan secara sempurna karena terkontaminasi oleh interes-inters pribadi atau kelompok.
Berkaitan dengan kritik yang di tunjukan kepada epistimologi ilmu kalam, M. Iqbal melihat adanya Anomali (penyimpangan) lain yang melekat dalam litelatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya menggunakan cara dan pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam, adapun muktazilah justru sebaliknya. Mereka terlalu jauh bersandar pada akal. Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan anatara pemikiran keagamaan dari pemikiran konkrit merupakan kesalahan yang besar.
Dengan meninjau ulang adanya anomali-anomali yang melekat pada rancang bangun epistimologi ilmu kalam perlu di kembangkan dan di kembangkan sesuai dengan tuntutan perkembengan zaman yang di lalui oleh sejarah kehidupan manusia.

  1. ASPEK ONTOLOGI ILMU KALAM
Harus di akui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan denganNya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.
Berangkat dari hal itu, Fazlur Rahman berupaya memformulasikan lagi hakikat ilmu kalam yang pada gilirannya mampu memperluas diskursus-diskursusnya. Teologi atau berteologi.
Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan para pemikir kontemporer adalah konstruksi ilmu kalam ala Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hukum kausalitas. Sebagaimana di ketahui oleh para peminat studi ilmu kalam Asy’ariyah, yang kemudian di kokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dewasa ini.Pemikiran kausalitas kalam Asy’ariyah tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik dalam ilmu-ilmu keagamaan maupun humaniora.

  1. ASPEK AKSIOLOGI ILMU KALAM

Kritikan yang di alamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap arti kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendikiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang mampu mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang yang menjauhi singa.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu alam diatas, tampaknya dekontruksi untuk ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap di perlukan usaha-usaha yang mengiringinya yang merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru.
Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi teks yang sakral dan mitos keilmuan dalam dunia islam. Untuk mencapai semua itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang kompleks.


Khawarij


KHAWARIJ
A.    Pengertian dan Asal Usul Kemunculan Khawarij
Khawarij adalah perkataan yang berasal dari kata kerja “kharaja” (telah keluar). Selain itu mereka juga disebut “hurariyah”, yaitu dinisbahkan pada perkataan “harurah”, ialah nama sebuah tempat disungai Furat di dekat kota Riqqah, dimana mereka bertempat sesudah Ali kembali beserta pasukannya dari Shiffin, lantaran mereka tidak mau memasuki kota Kufah.
Paham khawarij muncul setelah terjadi peperangan antara saidina Ali dengan Mu’awiyah. Perang ini dinamakan perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan gencetan senjata, untuk mengadakan perudingan antara dua belah pihak. Pihak saidina Mu’awiyah hampir kalah, lalu mereka mengangkat mushaf pada ujung tombak dan menyerukan penghentian peperangan  dengan tahkim. Saidina Ali pun mengetahui bahwa itu semua hanya tipu muslihat, sehingga ia masih ingin berperang sebab kemenangan sudah didepan mata tapi sebagian pasukan Ali pun mendesak untuk menerima tahkim tersebut. Akhirnya saidina Ali menyetujui perjanjian damai tersebut.
Namun sebagian lagi tidak menerima perjanjian damai tersebut sebab mereka menganggap orang yang mau berdamai pada waktu perang adalah orang yang ragu akan pendirian. Mereka menganggap saidina Ali lemah dalam menegakkan kebenaran. Akhirnya golongan ini membenci saidina Ali dan keluar dari barisan Ali, mereka dinamakan Khawarij. Semboyan khawarij “la hukma illa lillah” (tak ada hukuman kecuali dari Allah).
Mereka akan bergabung lagi kepada saidina Ali dan melawan Mu’awiyah asalkan saidina Ali mengakui bahwa ia telah bersalah menerima tahkim dan sudah  menjadi kafir. Tapi jika tidak, mereka akan melawan saidina Ali dan Mu’awiyah. Saidina Ali tetap dalam pendiriannya dan mencela tuntutan mereka yang begitu rendah, ia berkata kepada mereka:
“Apakah sesudah aku beriman, berhijrah dan berjihat bersama Rasulullah lalu aku mengakui diriku kafir? Diriku tak pernah kembali kepada kekafiran sekejap pun, aku beriman kepada Allah!”
Mereka menjawab:
“Kami tak hendak berbicara dengan mu selain ini. Hanya peranglah yang menentukan antara kami dan kamu.”
            Mereka mengangkat Abdullah bin Wahab ar Rasyidi sebagai pemimpin golongan khawarij. Dibawah pimpinan Abdullah mereka memerangi saidina Ali setelah mendengar pernyataan beliau tersebut. Maka terjadilah pertempuran antara saidina Ali dan khawarij di Nahrawan. Tetapi sebelum kedua pasukan bertempur saidina Ali lebih dahulu memerintahkan kepada Abu Ayub al-Anshari untuk menaikkan “Bendera keamanan” serta berseru kepihak musuh:
“Barang siapa diantara kamu datang kebawah bendera ini, dia adalah aman. Dan barang siapa yang masuk ke kota , dia adalah aman. Dan siapa yang pergi ke Irak adalah aman. Dan barang siapa yang keluar dari golongan yang memberontak adalah aman”.
Mendengar seruan itu sebagian dari mereka meninggalkan tempat itu dan sebagian tersebar disana.
Belum lama pertempuran dimulai kaum khawarij dapat dihancurkan, seolah-olah Allah berkata kepada mereka “kun faya kun” (matilah kamu maka matilah mereka). Hanya ada segelintir saja yang dapat menyelamatkan diri tak sampai sepuluh orang. Pertempuran di Nahrawan ini mempunyai akibat-akibat penting, yang terutama adalah: Bahwa harapan sudah lenyap sama sekali tentang kembalinya kaum khawarij kebarisan saidina Ali, atau kebarisan jama’ah umumnya akibat dari pertempuran Nahrawan.
B.    Pembunuhan Ali
            Dimusim haji jama’ah khawarij, mereka berpendapat bahwa Ali dan Mu’awiyahtelah merusak umat Islam, andai kata kita membunuh kedua-duanya tentulah menjadi baik. Saidina Ali, Mu’awiyah dan Amru bin ‘Ash orang yang akan mereka bunuh dengan keji yaitu memukul sampai mati ketika mereka hendak keluar sholat subuh di masjid ditempat masing-masing. Saidina Ali berada di Bagdad, Mu’awiyah di Damsyik, dan Amru bin ‘Ash di Mesir. Amru bin ‘Ash adalah pokok pangkal dari kerusakan ini. Maka pada malam 21 Ramadhan tahun 40 H. Abdur Rahman Ibdul Muljam akan membunuh Ali. Dia meminta bantuan kepada Sabib Al Asy Ja’i untuk melampiaskan nafsu murkanya. Mereka menunggu Ali didepan pintu rumah sewaktu keluar pergi ke sembahyangan. Sabib lebih dahulu menikam tapi luput, lalu Ibnu Muljam menyerang dan menetaknya yang akhirnya Ali pun tewas. Perbuatan mereka ini dianggap sebagai wasilah dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjamin baginya masuk surga.
C.    Pemikiran-pemikiran (ide) kaum Khawarij
            Ide kaum khawarij menjadi tiga macam bidang pembahasan:
a.       Sebab-sebab timbulnya kaum Khawarij
     Kaum khawarij adalah bangsa Arab. Watak bangsa Arab ialah suka memberontak walaupun karena sesuatu sebab yang remeh. Perenanan yang dimainkan Mu’awiyah sehingga ia berhasil menimbulkan perpecahan dalam kalangan tentara Ali dan menyebabkan munculnya kaum khawarij. Rasa fanatik kesukuan menyebabkan timbulnya peperangan. Sifat suka berontak, sifat menimbulkan huru-hara dan pendurhakaan. Sebab yang terpenting dalam gerakan khawarij ialah bahwa mereka dalam menghargai pendapat-pendapat mereka amatlah berlebih-lebihan. Mereka menjadikan pendapat tersebut sebagai akidah atau kepercayaan.
b.      Ciri-ciri umum kaum Khawarij
     Sifat-sifat kaum Khawarij yakni, kesederhanaan, kedangkalan dan tidak mendalamnya mereka tentang memahami masalah-masalah yang mereka hadapi serta tidak jauhnya pandangan mereka dalam menilai hasil dan akibat dari perbuatan yang hendak mereka kerjakan, dan berlebih-lebihan dalam soal ibadah.

                       

    

Perbandingan Antara Aliran-aliran Pelaku Dosa Besar


PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN PELAKU DOSA BESAR

1.      Aliran khawarij
Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka selalu menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi Allah).
Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan pada perang Siffin antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah. Mereka memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa kecil atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak ada yang kecil menurut aliran khawarij.[1]
Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte. Diantaranya adalah Al-Muhakimah fatwanya adalah Orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, telah keluar dari islam dan kekal di dalam neraka. Orang-orang yang menyetujui tahkim, berzina, membunuh tanpa sebab, dll. Adalah orang yang berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari islam.[2]
Al-Najdat pendapatnya yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan golonganya, adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian masuk surga.
Al-Sufriah pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka berpendapat bahwa orang yangn melakukan dosa besar adalah musyrik, ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan. Yang pertama yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia seperti membunuh dan berzina, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa.
Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir, yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua.
Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad merupakan golongan paling moderat diantara golongan khawarij yang lain. Paham mereka tentang dosa besar adalah Orang yang melakukan dosa besar Muwahhid tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah bukan kafir al-millah. Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat seseorang keluar dari agama islam.[3]

2.      Murjia’ah
Kaum murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Nabi, Al-Qur’an dll.
Persoalan dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum kafir kepada orang yang melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[4]
Adapun dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rosul-rosul-Nya ia mu’min walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa asal sudah ada iman dalam hati.[5]



  1. Mu’tazilah
mu’tazilah (mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan dosa besar tidak akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus menerus di dalam neraka tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min yang berbuat dosa besar/dosa kecil ia akan di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempat orang kafir. Nerakanya agak dingin mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.[6]
Prinsip ini sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir, dan tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang kafir. Jalan tengah ini di ambilnya dari :
1. Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
2. Plato yang mengatakan bahwa ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk.
      Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga di jadikanya suatu prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”.[7]

4. Asy’ariyah
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap  mukmin, karena masih ada imannya, tetapi karena dosa besar yang telah di lakukannya ia menjadi fasiq, jadi ia bukan teman juga bukan musuh.[8]
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum  bertaubat, maka orang itu tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai orang mu’min. Karena pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Tuhan.
Orang semacam itu di akhirat nanti menurut keyakinan Asy’ariyah akan mendapat beberapa kemungkinan :
    1. Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.
    2. Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga di bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
    3. Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di keluarkan dan di masukan kedalam surga.
Pendapat ini berdasarkan pada ayat Qur’an :

ﺍﻦﷲﻻﻳﻐﻔﺮﺍﻦﻳﺸﺮﻚﺑﻪﻮﯿﻐﻔﺮﻣﺎﺪﻮﻦﺬﻠﻚﻠﻤﻦﯿﺸﺄﻮﻣﻦﻳﺸﺮﻚﺒﺎﷲﻔﻘﺪﻔﺗﺮﻯﺍﺛﻤﺎﻋﺿﻴﻣﺎ

Artinya :
“Bahwasanya Tuhan (Allah) tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia memepersekutukan-Nya, tetapi di ampuni-Nya selain dari pada itu bagi siapa yang di kehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Allah sesungguhnya ia telah membuat dosa yang sangat besar”.(Qs. An-nisa’:48).[9]
Jadi orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.

5. maturidiyah
Al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar tetapi aliran ini sefaham dengan aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mu’min, dan soal dosa besarnya nnanti akan di tentukan Tuhan kelak di akhirat.[10]

  1. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN IMAN DAN KUFUR
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1.      Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[11]
Menurut kaum Mu’tazilah Iman bukanlah Tasdiq dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-jabar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan-Nya bukanlah orang yang beriman (mukmin).
Dengan demikian iman bukan Tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan.[12]
Menurut Abu Huzail yang di maksud dengan perintah Tuhan adalah bukan hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunnat. Sedang menurut Al-Jubba’i yang di maksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib.
2.      Ahlus sunah
Menurut aliran ini Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
3.      Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
 Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
 Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Kaum Maturidiyah dari golongan Bukhara berpendapat sama dalam hal ini dengan Asy’ariah yaitu bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, batasan yang di berikan oleh Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya.[13]

4. Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir. Begitu juga dengan orang yang tidak sefaham dengan kaumnya ia kafir dan telah keluar dari agama islam.
5. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka berdasarkan pada surat  al-nahl, ayat 106.
من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman.
Kaum Asy’ariah dengan keyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, manusia dapat mengetahui hal itu hanya dengan wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerima kebenaran berita ini.
Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah Tasdiq, dan batasan iman seperti yang di berikan oleh Asy’ari adalah Tasdiq bi Allah yaitu menerima sebagai kebenaran adanya Tuhan. Al-bagdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman adalah Tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-rasul, dan kabar berita yang mereka bawa. Tasdiq tidak sempurna jika tidak di sertai dengan pengetahuan.
Bagaimanapun iman hanyalah Tasdiq dan pengetahuan tidak akan timbul kecuali setelah datangnya kabar yang di bawa oleh wahyu yang bersangkutan.[14]
6. Murji’ah
Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar. Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[15]
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
d. Kelompok keempat ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
e. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.

  1. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN SIFAT-SIFAT TUHAN

  1. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah menafsirkan Tuhan itu Esa, Tidak ada yang menyamainya, bukan jism, bukan syakhs, bukan Jauhar, bukan pula ardl, tidak berlaku pada-Nya, tidak bisa di sifati dengan sifat-sifat yang yang ada pada mahluk yang menunjukan ketidak azalian-Nya.[16]
Kaum mu’tazilah menyelesaikan perasalahan tentang sifat Tuhan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.[17]
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya, arti dari kata Tuhan mengetahui menurut Abu Huzail, adalah “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.[18]



  1. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah menyampaikan penyelesaian yang bertentangan dengan kaum mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ari sendiri, tidak di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatanya. Disamping menyatakan jika Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Asy’ari sangat mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal fikiran yaitu golongan mu’tazilah maka di katakanya mereka adalah sesat karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan dan menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatNya dan meletakannya pada bentuk yang tidak dapat di terima oleh akal.[19]
Dan menurut Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal.[20]

  1. Maturidiyah
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Juga mengatakan Tuhan serta sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sefaham dengan mu’tazilah karena Al-Maturidy mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan .[21]


BAB III
KESIMPULAN

Perbedaan aliran antara pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta sifat-sifat Tuhan yaitu :
1.      Khawarij memberi hukum kafir pada pelaku dosa besar, dan orang yang melakukan dosa besar telah keluar dari islam.
2.      Mu’tazilah yang berpendapat adanya tempat diantara surga dan neraka bagi seorang mu’min yang melakukan dosa besar Manzilah Baina Manzilataini. Iman itu tidak tasdiq ataupun ma’rifat melainkan ‘amal, dan Allah tidak memiliki sifat.
3.      Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mu’min dan dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak.
4.      Asy’ariyah berfatwa bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tetap mu’min, untuk hukuman di akhirat itu adalah kuasa Tuhan. Iman itu Tasdiq, dan mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
5.      Maturidiyah dalam hal dosa besar sepaham dengan aliran Asy’ariyah yang melakukan dosa besar tetap mu’min, Iman itu Tasdiq dan mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
6.      Ahlus Sunah berpendapat iman adalah diikrarkan dengan lisan, diyakini dalam hati dan di realisasikan dengan perbuatan.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution. Harun, Theology Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972.
Hanafi. Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Ritter. Hilmut,  Maqalat al-islamiyah wa ikhtilaf al-musallin, Constantinopel: Matba’ah al-da’wah, 1930.
Abbas. Siradjudin,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010.
Yusran.  Asmuni, Ilmu Kalam, Jakarta : PT. G rafindo, 1998.
Nata. Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.
http://perbandingankonsepimandankufur.said.com


       [1] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm. 186
       [2] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.31
       [3] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.20
       [4] Ibid.,hlm.23
       [5] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.186
       [6] Ibid.,hlm.200
       [7] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.44
       [8] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.71
       [9] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm.217
      [10] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.77
       [11] Yusran Asmuni, Ilmu Kalam, (Jakarta : PT. G rafindo, 1998).hlm.157.
       [12] Ibid. Theology Islam, hlm.147
       [13] Ibid., hlm.148
       [14] Op.Cit.,hlm.149
       [16] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.42
       [17] Hilmut Ritter, Maqalat al-islamiyah wa ikhtilaf al-musallin, (Constantinopel: Matba’ah al-da’wah, 1930).hlm.176
       [18] Ibid.,hlm.135


       [19] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”.hlm.61
       [20] Ibid.,hlm.136
       [21] Ibid.,hlm.137