PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN PELAKU DOSA BESAR
1.
Aliran
khawarij
Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka
selalu menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi
Allah).
Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan
pada perang Siffin antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah.
Mereka memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa
kecil atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak
ada yang kecil menurut aliran khawarij.
Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte.
Diantaranya adalah Al-Muhakimah fatwanya adalah Orang yang
melakukan dosa besar adalah kafir, telah keluar dari islam dan kekal di dalam
neraka. Orang-orang yang menyetujui tahkim, berzina, membunuh tanpa sebab, dll.
Adalah orang yang berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari islam.
Al-Najdat pendapatnya
yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah
orang islam yang tidak sefaham dengan golonganya, adapun pengikutnya jika
melakukan dosa besar betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka,
dan kemudian masuk surga.
Al-Sufriah pemimpin
golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka berpendapat bahwa orang yangn
melakukan dosa besar adalah musyrik, ada diantara mereka yang membagi dosa
besar dalam dua golongan. Yang pertama yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia
seperti membunuh dan berzina, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti
meninggalkan sholat dan puasa.
Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir,
yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua.
Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn
Ibad merupakan golongan paling moderat diantara golongan khawarij yang lain.
Paham mereka tentang dosa besar adalah Orang yang melakukan dosa besar Muwahhid
tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah bukan
kafir al-millah. Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat seseorang
keluar dari agama islam.
2.
Murjia’ah
Kaum
murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal
kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam
hati kepada Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun melahirkan dengan
lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Nabi, Al-Qur’an dll.
Persoalan
dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau menjadi bahan
perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum kafir kepada orang
yang melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Adapun dosa
besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan
kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang mengakui dalam hati
atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rosul-rosul-Nya ia
mu’min walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa
asal sudah ada iman dalam hati.
- Mu’tazilah
mu’tazilah
(mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan dosa besar tidak
akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus menerus di dalam
neraka tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min yang berbuat dosa
besar/dosa kecil ia akan di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari
tempat orang kafir. Nerakanya agak dingin mereka tinggal di antara dua tempat,
yakni antara surga dan neraka.
Prinsip ini
sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah memisahkan diri
dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
selain syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan
adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir, dan tingkatan
orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang kafir. Jalan tengah ini di
ambilnya dari :
1. Fikiran-fikiran
Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan tengah antara dua
jalan yang berlebih-lebihan.
2. Plato yang mengatakan bahwa
ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk.
Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga
di jadikanya suatu prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”.
4. Asy’ariyah
Bagi
Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena masih ada imannya, tetapi
karena dosa besar yang telah di lakukannya ia menjadi fasiq, jadi ia bukan
teman juga bukan musuh.
Orang mukmin
yang melakukan dosa besar dan mati sebelum
bertaubat, maka orang itu tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai
orang mu’min. Karena pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Tuhan.
Orang semacam itu di akhirat nanti menurut
keyakinan Asy’ariyah akan mendapat beberapa kemungkinan :
- Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.
- Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga di
bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
- Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di
keluarkan dan di masukan kedalam surga.
Pendapat ini berdasarkan pada
ayat Qur’an :
ﺍﻦﷲﻻﻳﻐﻔﺮﺍﻦﻳﺸﺮﻚﺑﻪﻮﯿﻐﻔﺮﻣﺎﺪﻮﻦﺬﻠﻚﻠﻤﻦﯿﺸﺄﻮﻣﻦﻳﺸﺮﻚﺒﺎﷲﻔﻘﺪﻔﺗﺮﻯﺍﺛﻤﺎﻋﺿﻴﻣﺎ
Artinya
:
“Bahwasanya Tuhan (Allah) tidak mengampuni
dosa seseorang kalau ia memepersekutukan-Nya, tetapi di ampuni-Nya selain dari
pada itu bagi siapa yang di kehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Allah
sesungguhnya ia telah membuat dosa yang sangat besar”.(Qs. An-nisa’:48).
Jadi orang mukmin yang melakukan
dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu
tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi
Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan
ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke
surga.
5. maturidiyah
Al-Maturidi menolak ajaran
Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar tetapi aliran ini sefaham dengan
aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mu’min,
dan soal dosa besarnya nnanti akan di tentukan Tuhan kelak di akhirat.
- PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN IMAN DAN KUFUR
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur
iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa
yang beriman dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1.
Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq)
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman
tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Menurut kaum
Mu’tazilah Iman bukanlah Tasdiq dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah
cukup. Menurut ‘Abd al-jabar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan-Nya
bukanlah orang yang beriman (mukmin).
Dengan
demikian iman bukan Tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang timbul
sebagai akibat mengetahui Tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksana
perintah-perintah Tuhan.
Menurut Abu
Huzail yang di maksud dengan perintah Tuhan adalah bukan hanya yang wajib saja,
tetapi juga yang sunnat. Sedang menurut Al-Jubba’i yang di maksud dengan itu
hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib.
2.
Ahlus
sunah
Menurut aliran ini Iman ialah mengikrarkan dengan
lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan
lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena
mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan,
menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
3.
Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar
bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan
terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Keimanan itu tidak
cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang
diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati
tidak mengakui ucapan lidah.
Al-Maturidi
tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang
dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah
ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah
ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim
meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang
sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti
bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang
telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi,
menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan
faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun
pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan
oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan
membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya
beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu
sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan
walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Kaum
Maturidiyah dari golongan Bukhara berpendapat sama dalam hal ini dengan
Asy’ariah yaitu bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui
Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, batasan yang di berikan
oleh Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa
tidak Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya.
4. Khawarij
Iman
dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala
perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah
bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan
lain-lain, maka orang itu kafir. Begitu juga dengan orang yang tidak sefaham
dengan kaumnya ia kafir dan telah keluar dari agama islam.
5. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap
kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran banyak membicarakan
persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa
merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya
melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq.
Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan
pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun
bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar
bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu
tashdiq . argumentasi mereka berdasarkan pada surat al-nahl, ayat 106.
من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن
بالإيمان
Seseorang yang menuturkan
kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap
membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan
lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman.
Kaum
Asy’ariah dengan keyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, manusia dapat
mengetahui hal itu hanya dengan wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan
kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerima kebenaran berita ini.
Oleh karena
itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah Tasdiq, dan batasan iman seperti yang di
berikan oleh Asy’ari adalah Tasdiq bi Allah yaitu menerima sebagai
kebenaran adanya Tuhan. Al-bagdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman
adalah Tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-rasul, dan kabar berita yang mereka
bawa. Tasdiq tidak sempurna jika tidak di sertai dengan pengetahuan.
Bagaimanapun
iman hanyalah Tasdiq dan pengetahuan tidak akan timbul kecuali setelah
datangnya kabar yang di bawa oleh wahyu yang bersangkutan.
6. Murji’ah
Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam
hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar. Berdasarkan
pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran
teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah,
Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah,
Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan
pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah.
Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi
dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah
ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing
memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian
berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur itu merupakan
sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl)
terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para
pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan
banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal
(Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan
Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu
Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa
saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan
dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh
ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya
karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur.
Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah
dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu
semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan
sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya
dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang
menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau
berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun
disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga itu beranggapan: Kufur terhadap Allah
itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan.
Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya.
Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
d. Kelompok keempat ini beranggapan: kufur itu
membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara
lisan.
e. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Syamr,
dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam
uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Muhammad ibn
Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan
dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak
mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula
mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati
orang-orang muslim.
- PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN SIFAT-SIFAT TUHAN
- Mu’tazilah
Kaum
mu’tazilah menafsirkan Tuhan itu Esa, Tidak ada yang menyamainya, bukan jism,
bukan syakhs, bukan Jauhar, bukan pula ardl, tidak berlaku pada-Nya, tidak bisa
di sifati dengan sifat-sifat yang yang ada pada mahluk yang menunjukan ketidak
azalian-Nya.
Kaum
mu’tazilah menyelesaikan perasalahan tentang sifat Tuhan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak
mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.
Tuhan tetap
mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya,
arti dari kata Tuhan mengetahui menurut Abu Huzail, adalah “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.
- Asy’ariyah
Kaum
Asy’ariyah menyampaikan penyelesaian yang bertentangan dengan kaum mu’tazilah.
Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ari
sendiri, tidak di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena
perbuatan-perbuatanya. Disamping menyatakan jika Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa dan sebagainya juga menyatakan Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan
daya.
Asy’ari
sangat mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal fikiran yaitu
golongan mu’tazilah maka di katakanya mereka adalah sesat karena tidak mengakui
sifat-sifat Tuhan dan menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatNya dan meletakannya
pada bentuk yang tidak dapat di terima oleh akal.
Dan menurut
Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariyah bahwa daya,
pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah
kekal.
- Maturidiyah
Kaum
Maturidiyah golongan Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka
menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan
yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu
sendiri. Juga mengatakan Tuhan serta sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi
sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Kaum
Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sefaham dengan
mu’tazilah karena Al-Maturidy mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula
tidak lain dari Tuhan .
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan aliran
antara pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta sifat-sifat Tuhan yaitu :
1.
Khawarij
memberi hukum kafir pada pelaku dosa besar, dan orang yang melakukan dosa besar
telah keluar dari islam.
2.
Mu’tazilah
yang berpendapat adanya tempat diantara surga dan neraka bagi seorang mu’min
yang melakukan dosa besar Manzilah Baina Manzilataini. Iman itu tidak
tasdiq ataupun ma’rifat melainkan ‘amal, dan Allah tidak memiliki sifat.
3.
Murji’ah
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mu’min dan dosa besar yang mereka
lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak.
4.
Asy’ariyah
berfatwa bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tetap mu’min, untuk
hukuman di akhirat itu adalah kuasa Tuhan. Iman itu Tasdiq, dan mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan.
5.
Maturidiyah
dalam hal dosa besar sepaham dengan aliran Asy’ariyah yang melakukan dosa besar
tetap mu’min, Iman itu Tasdiq dan mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
6.
Ahlus Sunah
berpendapat iman adalah diikrarkan dengan lisan, diyakini dalam hati dan di
realisasikan dengan perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution.
Harun, Theology Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
1972.
Hanafi.
Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Ritter.
Hilmut, Maqalat al-islamiyah wa
ikhtilaf al-musallin, Constantinopel: Matba’ah al-da’wah, 1930.
Abbas.
Siradjudin,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, Jakarta : Pustaka Tarbiyah
Baru, 2010.
Yusran. Asmuni, Ilmu Kalam, Jakarta : PT. G
rafindo, 1998.
Nata.
Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2001.
http://perbandingankonsepimandankufur.said.com