PEMBAHASAN
- ASPEK EPISTIMOLOGI ILMU KALAM
Yang di
maksud Epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang di gunakan oleh
para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika
mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya di
kemukakan oleh Taufiq Adnan Amaldan Syamsu Rizal Panggabean. Mereka menyangkut
sisi kelemahan aliran kalam dalam aspek metodologi.
Demi membela
sudut pandang tertentu, penfsiran-penafsiran teologis tentunya telah mendekati
Al-Qur’an secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan
dan kesustraannya. Pemaksaan gagasan asing kedalam Al-Qur’an juga merupakan
gejala yang mewabah.
Contoh
penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai
kehabsahan Al-Qur’an. Sebagaimana telah di ketahui pandangan mereka tentang ini
merupakan tanggapan atas pandangan golongan Muktazilah. Penekanan
Muktazilah pada ke-Esaan Tuhan yang
membuat mereka di gelari Ahl al- Adl al Tauhid telah menyebabkan mereka menolak
doktrin keabadian Al-Qur’an sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlu
Sunnah. Menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah mahluk (ciptaan). Jika
tidak demikian tentulah ada yang abadi selain Allah, dan ini bertentangan
dengan keesaan Allah.
Golongan Asy’ariyah
percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abadi (qadim), Al-Qur’an merupakan
perintah Tuhan. Kata kreatif kun (ada),
merupakan seluruh bentuk sifatkata yang abadi, untuk menjelesakan hal ini ,
mereka rujuk Firman Allah berikut.
ﺇﻧﻤﺎﺃﻤﺭﻩﺇﺬﺁﺃﺮﺪﺷﻳﺄﺃﻦﻳﻗﻮﻞﻟﻪﻜﻦﻓﻳﻜﻮﻥ
Artinya: “ Sesungguhnya perintah-Nya, apabila
Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : “Jadila!”maka terjadilah
ia.
Menurut
golongan asy’ariyah, ayat di atas menunjukan bahwa adanya perintah kreatif dan
perkataan kreatif (kun), di alam. Disamping itu dengan berpijak pada ayat
beikut ini :
ﻭﻣﻦﺍﻳﺎﺘﻪﺃﻧﺘﻘﻮﻡﺍﻠﺳﻤﺎﺀﻭﺍﻷﺮﺽﺒﺄﻣﺮﻩﺛﻡﺍﺫﺍﺪﻋﺎﻛﻢﻋﻮﺓﻤﻦﺍﻷﺮﺽﺇﺬﺍﺃﻨﺘﻢﺘﺧﺭﺠﻭﻥ
Artinya :” Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya,
Kemudian apabila Ia memanggil kamu semua sekali panggil dari bumi, seketika itu
(juga) kamu keluar (dari kubur).
(Qs. Ar-Rum:25).
Dengan ayat
ini, mereka berdalih bahwa perintah Tuhan bukan hanya merupakan alat pencipta,
tetapi tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya.
Ayat-ayat
yang dirujuk tersebut, menurut adnan dan Rizal, sebenarnya di tegaskan untuk di
maksudkan kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Namun,
ayat-ayat ini telah di belokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk
mendukung keabadian Al-Qur’an, sebagai tanggapan terhadap kalangan muktazilah.
Teori golongan asy’ariyah tentang keabadian Al-Qur’an, senada dan berada di
bawah pengaruh teori –teori teolog Kristen dan pengikut aliran setoa tentang
logos.
Adnan dan
Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya
merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk mebela sudut
pandang untuk golongan Ahlus sunah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari
Al-Qur’an tetapi lebih merupakan pemaksaan gagasan-gagasan asing kedalamnya.
Contoh
mengenai gagasan asing yang telah dipaksakan kedalam Al-Qur’an dapat dilihat
dalam paparan mngenai kebangkitan manusia di ahirat. Dikalangan Ahlussunah,
terdapat keyakinan yang kuat mngenai kebangkitan fisik di ahirat.
Pemahaman
semacam ini yang di peroleh lewat pemahaman harfis lewat ayat-ayat Ukhrawi
Al-Qur’an tentu saja sulit di terima oleh kaum filosof. Oleh karena itu, mereka
menafsirkan secara elegoris pernyataan-pernyataan Al-Qu’an tentangnya sebagai
kebangkitan spiritual, yitu hany roh manusia saja, yang akan di bangkitkan oleh
Tuhan di hari kemudian.
Kritikan senada
di kemukakan oleh Muhamad Husein Azd-Dzahabi aliran kalam yang banyak mendapat
sorotan Adz-Dzahabi adalah khawarij, muktazilah, dan syia’ah. Yang di pandang
banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tidak propesional dan
menyimpangkan makna teks-teks Al-Qur’an dari makna sebenarnya dengan tujuan
untuk mendukung prinsip-prinsip yang di yakininya. Contohnya adalah penafsiran
tokoh-tokoh khawarij terhadap firman Allah :
ﻮﻤﻥﻠﻢﻴﺤﻛﻡﺒﻣﺎﺃﻨﺰﻞﷲﻓﺄﻭﻠﺌﻚﻫﻢﺍﻠﻜﺎﻔﺭﻮﻥ
Artinya : “Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah:44).
Tanpa
mnyebutkan alasannya Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa para pemuka khawarij
berusaha menafsirkan ayat di atas sesuai denga pendapat madzhabnya, yakni bahwa
setiap orang yang melakukan dosa besar berarti telah mengambil keputusan hukum
dengan hukuman selain yang di turunkan Allah.
Adz-Dzahabi mengatakan
demikian:
Pertanyaannya apakah
pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat mereka mengenai ayat di atas dapat di
terima ? kami katakan tidak.... Kelompok khawarij itu bersifat fanatik dan
sangat terikat dengan keyakinan madzhabnya.
Contoh lainnya
adalah penafsiran tokoh-tokoh muktazilah terhadap firman Allah berikut ini :
ﻭﺠﻮﻩﻴﻭﻤﺋﺬﻧﺎﻀﺭﺓﺍﻠﻰﺭﺒﻬﺎﻧﺎﻀﺭﺓ
Artinya :”
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannya
mereka melihat.” (Qs. Al-Qiyamah:22-23).
Mereka mena’wilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya yakni ketidak
mungkinan Allah dapat dilihat di akhirat kelak. Dengan penakwilan itu
Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata Nadhiro dari arti
yang sebenarnya yakni melihat dengan kepala sendiri.
Adapun contoh
penyimpangan yang di lakukan syiah, dan di pandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi
adalah apa yang di lakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah SWT.
ﻭﺍﻟﻬﻛﻢﺍﻠﻪﻮﺍﺤﺪﻻﺍﻠﻪﺍﻻﻫﻭﺍﻠﺮﺤﻤﻥﺍﻟﺭﺤﻴﻢ
Artinya : “
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan lagi Maha Penyayang.
Al-askari mengatakan bahwa kata Ar-rahman berarti Maha pemurah kepada
hamba-hambaNya, yang beriman dari kalangan (Syi’ah) keluarga Muhammad SAW.
Allah memperkenankan mereka untuk melaukukan Taqiyah.
Menanggapi penafsiran di atas
Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa penyimpangan yang di lakukan Al-Asykari di
atas didorong oleh prinsip (ajaran) taqiyah yang dianut oleh kelompok Syiah
imamiyah. Adz-Dzahabi melihat bahwa penafsiran di atas lebih bernuansa politik.
Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Misalnya dengan faham menafikan
sifat-sifat Allah, aliran Muktazilah “bertujuan” menyucikan (tanzih) Allah
dengan keserupaan dengan mahlukNya dan dalam rangka mempertahankan prinsip
Tauhid sebagaimana yang mereka anut. Namun, misi ini tidak berjalan secara
sempurna karena terkontaminasi oleh interes-inters pribadi atau kelompok.
Berkaitan dengan kritik yang di tunjukan kepada epistimologi ilmu
kalam, M. Iqbal melihat adanya Anomali (penyimpangan) lain yang melekat dalam
litelatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya menggunakan cara dan
pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi
islam, adapun muktazilah justru sebaliknya. Mereka terlalu jauh bersandar pada
akal. Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,
pemisahan anatara pemikiran keagamaan dari pemikiran konkrit merupakan
kesalahan yang besar.
Dengan
meninjau ulang adanya anomali-anomali yang melekat pada rancang bangun
epistimologi ilmu kalam perlu di kembangkan dan di kembangkan sesuai dengan tuntutan
perkembengan zaman yang di lalui oleh sejarah kehidupan manusia.
- ASPEK ONTOLOGI ILMU KALAM
Harus di
akui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada
persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan denganNya yang terkesan “mengawang-awang”
dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.
Berangkat
dari hal itu, Fazlur Rahman berupaya memformulasikan lagi hakikat ilmu kalam
yang pada gilirannya mampu memperluas diskursus-diskursusnya. Teologi atau
berteologi.
Diantara
diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan para pemikir kontemporer adalah
konstruksi ilmu kalam ala Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hukum
kausalitas. Sebagaimana di ketahui oleh para peminat studi ilmu kalam
Asy’ariyah, yang kemudian di kokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak
cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dewasa ini.Pemikiran kausalitas
kalam Asy’ariyah tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik
dalam ilmu-ilmu keagamaan maupun humaniora.
- ASPEK AKSIOLOGI ILMU KALAM
Kritikan
yang di alamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu
itu sendiri dalam menyingkap arti kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh
ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendikiawan muslim yang
mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi
menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan
bahwa ilmu ini tidak mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya
kehidupan sufilah yang mampu mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin
karena diantaranya alasan ini pula Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat
menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang yang
menjauhi singa.
Bertolak
dari kelemahan-kelemahan ilmu alam diatas, tampaknya dekontruksi untuk ilmu ini
merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar yang
sudah ada. Didalam dekontruksi tetap di perlukan usaha-usaha yang mengiringinya
yang merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru.
Tujuan
dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan
yang ada, yang telah menjadi teks yang sakral dan mitos keilmuan dalam dunia
islam. Untuk mencapai semua itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan
kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu
tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan
sejarah yang kompleks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar