Rabu, 04 Juli 2012

Studi Kritis Ilmu Kalam



PEMBAHASAN

  1. ASPEK EPISTIMOLOGI ILMU KALAM
Yang di maksud Epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang di gunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya di kemukakan oleh Taufiq Adnan Amaldan Syamsu Rizal Panggabean. Mereka menyangkut sisi kelemahan aliran kalam dalam aspek metodologi.
Demi membela sudut pandang tertentu, penfsiran-penafsiran teologis tentunya telah mendekati Al-Qur’an secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesustraannya. Pemaksaan gagasan asing kedalam Al-Qur’an juga merupakan gejala yang mewabah.
Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai kehabsahan Al-Qur’an. Sebagaimana telah di ketahui pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas pandangan golongan Muktazilah. Penekanan Muktazilah pada ke-Esaan Tuhan  yang membuat mereka di gelari Ahl al- Adl al Tauhid telah menyebabkan mereka menolak doktrin keabadian Al-Qur’an sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlu Sunnah. Menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah mahluk (ciptaan). Jika tidak demikian tentulah ada yang abadi selain Allah, dan ini bertentangan dengan keesaan Allah.
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abadi (qadim), Al-Qur’an merupakan perintah Tuhan. Kata kreatif  kun (ada), merupakan seluruh bentuk sifatkata yang abadi, untuk menjelesakan hal ini , mereka rujuk Firman Allah berikut.

ﺇﻧﻤﺎﺃﻤﺭﻩﺇﺬﺁﺃﺮﺪﺷﻳﺄﺃﻦﻳﻗﻮﻞﻟﻪﻜﻦﻓﻳﻜﻮﻥ
Artinya: “ Sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : “Jadila!”maka terjadilah ia.

Menurut golongan asy’ariyah, ayat di atas menunjukan bahwa adanya perintah kreatif dan perkataan kreatif (kun), di alam. Disamping itu dengan berpijak pada ayat beikut ini :

ﻭﻣﻦﺍﻳﺎﺘﻪﺃﻧﺘﻘﻮﻡﺍﻠﺳﻤﺎﺀﻭﺍﻷﺮﺽﺒﺄﻣﺮﻩﺛﻡﺍﺫﺍﺪﻋﺎﻛﻢﻋﻮﺓﻤﻦﺍﻷﺮﺽﺇﺬﺍﺃﻨﺘﻢﺘﺧﺭﺠﻭﻥ

Artinya :” Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya, Kemudian apabila Ia memanggil kamu semua sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
(Qs. Ar-Rum:25).
Dengan ayat ini, mereka berdalih bahwa perintah Tuhan bukan hanya merupakan alat pencipta, tetapi tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya.
Ayat-ayat yang dirujuk tersebut, menurut adnan dan Rizal, sebenarnya di tegaskan untuk di maksudkan kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Namun, ayat-ayat ini telah di belokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk mendukung keabadian Al-Qur’an, sebagai tanggapan terhadap kalangan muktazilah. Teori golongan asy’ariyah tentang keabadian Al-Qur’an, senada dan berada di bawah pengaruh teori –teori teolog Kristen dan pengikut aliran setoa tentang logos.
Adnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk mebela sudut pandang untuk golongan Ahlus sunah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Qur’an tetapi lebih merupakan pemaksaan gagasan-gagasan asing kedalamnya.
Contoh mengenai gagasan asing yang telah dipaksakan kedalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam paparan mngenai kebangkitan manusia di ahirat. Dikalangan Ahlussunah, terdapat keyakinan yang kuat mngenai kebangkitan fisik di ahirat.
Pemahaman semacam ini yang di peroleh lewat pemahaman harfis lewat ayat-ayat Ukhrawi Al-Qur’an tentu saja sulit di terima oleh kaum filosof. Oleh karena itu, mereka menafsirkan secara elegoris pernyataan-pernyataan Al-Qu’an tentangnya sebagai kebangkitan spiritual, yitu hany roh manusia saja, yang akan di bangkitkan oleh Tuhan di hari kemudian.
Kritikan senada di kemukakan oleh Muhamad Husein Azd-Dzahabi aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah khawarij, muktazilah, dan syia’ah. Yang di pandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tidak propesional dan menyimpangkan makna teks-teks Al-Qur’an dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang di yakininya. Contohnya adalah penafsiran tokoh-tokoh khawarij terhadap firman Allah :

ﻮﻤﻥﻠﻢﻴﺤﻛﻡﺒﻣﺎﺃﻨﺰﻞﷲﻓﺄﻭﻠﺌﻚﻫﻢﺍﻠﻜﺎﻔﺭﻮﻥ
Artinya : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah:44).

Tanpa mnyebutkan alasannya Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa para pemuka khawarij berusaha menafsirkan ayat di atas sesuai denga pendapat madzhabnya, yakni bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukuman selain yang di turunkan Allah.
Adz-Dzahabi mengatakan demikian:
Pertanyaannya apakah pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat mereka mengenai ayat di atas dapat di terima ? kami katakan tidak.... Kelompok khawarij itu bersifat fanatik dan sangat terikat dengan keyakinan madzhabnya.
Contoh lainnya adalah penafsiran tokoh-tokoh muktazilah terhadap firman Allah berikut ini :
ﻭﺠﻮﻩﻴﻭﻤﺋﺬﻧﺎﻀﺭﺓﺍﻠﻰﺭﺒﻬﺎﻧﺎﻀﺭﺓ
Artinya :” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannya mereka melihat.” (Qs. Al-Qiyamah:22-23).
Mereka mena’wilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya yakni ketidak mungkinan Allah dapat dilihat di akhirat kelak. Dengan penakwilan itu Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata Nadhiro dari arti yang sebenarnya yakni melihat dengan kepala sendiri.
Adapun contoh penyimpangan yang di lakukan syiah, dan di pandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah apa yang di lakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah SWT.
ﻭﺍﻟﻬﻛﻢﺍﻠﻪﻮﺍﺤﺪﻻﺍﻠﻪﺍﻻﻫﻭﺍﻠﺮﺤﻤﻥﺍﻟﺭﺤﻴﻢ

Artinya : “ Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan lagi Maha Penyayang.
Al-askari mengatakan bahwa kata Ar-rahman berarti Maha pemurah kepada hamba-hambaNya, yang beriman dari kalangan (Syi’ah) keluarga Muhammad SAW. Allah memperkenankan mereka untuk melaukukan Taqiyah.
Menanggapi penafsiran di atas  Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa penyimpangan yang di lakukan Al-Asykari di atas didorong oleh prinsip (ajaran) taqiyah yang dianut oleh kelompok Syiah imamiyah. Adz-Dzahabi melihat bahwa penafsiran di atas lebih bernuansa politik.
Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Misalnya dengan faham menafikan sifat-sifat Allah, aliran Muktazilah “bertujuan” menyucikan (tanzih) Allah dengan keserupaan dengan mahlukNya dan dalam rangka mempertahankan prinsip Tauhid sebagaimana yang mereka anut. Namun, misi ini tidak berjalan secara sempurna karena terkontaminasi oleh interes-inters pribadi atau kelompok.
Berkaitan dengan kritik yang di tunjukan kepada epistimologi ilmu kalam, M. Iqbal melihat adanya Anomali (penyimpangan) lain yang melekat dalam litelatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya menggunakan cara dan pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam, adapun muktazilah justru sebaliknya. Mereka terlalu jauh bersandar pada akal. Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan anatara pemikiran keagamaan dari pemikiran konkrit merupakan kesalahan yang besar.
Dengan meninjau ulang adanya anomali-anomali yang melekat pada rancang bangun epistimologi ilmu kalam perlu di kembangkan dan di kembangkan sesuai dengan tuntutan perkembengan zaman yang di lalui oleh sejarah kehidupan manusia.

  1. ASPEK ONTOLOGI ILMU KALAM
Harus di akui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan denganNya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.
Berangkat dari hal itu, Fazlur Rahman berupaya memformulasikan lagi hakikat ilmu kalam yang pada gilirannya mampu memperluas diskursus-diskursusnya. Teologi atau berteologi.
Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan para pemikir kontemporer adalah konstruksi ilmu kalam ala Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hukum kausalitas. Sebagaimana di ketahui oleh para peminat studi ilmu kalam Asy’ariyah, yang kemudian di kokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dewasa ini.Pemikiran kausalitas kalam Asy’ariyah tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik dalam ilmu-ilmu keagamaan maupun humaniora.

  1. ASPEK AKSIOLOGI ILMU KALAM

Kritikan yang di alamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap arti kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendikiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang mampu mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang yang menjauhi singa.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu alam diatas, tampaknya dekontruksi untuk ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap di perlukan usaha-usaha yang mengiringinya yang merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru.
Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi teks yang sakral dan mitos keilmuan dalam dunia islam. Untuk mencapai semua itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang kompleks.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar